Halaman

Senin, 16 Juli 2012


PEMBELAJARAN BERBASIS PENDIDIKAN TRANSFORMATIF SEBAGAI SOLUSI MENINGKATKAN BERPIKIR KRITIS TERHADAP PARIWISATA BUDAYA MELALUI PEMBUATAN VIDEO PARTISIPATORI DI PURA KEHEN-BANGLI

BIDANG KEGIATAN :
PKM-GAGASAN TERTULIS


DISUSUN OLEH :
KADEK SRI PUSPA YANI

PENDAHULUAN


Latar Belakang Masalah

Pendidikan  sesungguhnya selalu bersangkut paut dengan masa depan. Pendidikan pada dasarnya adalah "usaha sadar untuk meyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pegajaran, atau latihan bagi perannya di masa yang akan datang. Akan tetapi dalam kenyatannya, sesungguhnya kegiatan pendidikan baik melalui jalur sekolah, maupun luar sekolah yang sudah dirancang dan dilaksanakan dengan kesadaran penuh akan perlunya mempersiapkan generasi muda agar mampu menghadapi tantangan hidupnya dimasa depan. Dimana anak jaman sekarang sulit untuk berpikir kritis yaitu yang tidak mau menanggapi atau memberikan komentar terhadap sesuatu dengan penuh pertimbangan, tidak bersedia memperbaiki kesalahan atau kekeliruan, tidak dapat menelaah dan menganalisa sesuatu yang datang kepadanya secara sistematis, tidak berani menyampaikan kebenaran meskipun berat dilaksanakan dan tidak bersikap cermat, jujur dan ikhlas.


Melihat permasalahan tersebut maka solusi yang dapat diberikan adalah dengan menerapkan pembelajaran berbasis pendidikan transformatif. Pendidikan transformative sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari pendidikan pada umumnya, karena pendidikan transformatif adalah memiliki visi mengubah masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. Sebagaimana dimaklumi saat ini masyarakat Indonesia merupakan masyarakat agraris dengan etika, estetika dan kepribadian agraris yang belum sepenuhnya familiar dengan ilmu pengetahuan dan teknologi beserta perkembangannya. Tugas pendidikan adalah mengubah peradaban masyarakat, khususnya dalam “menanamkan” dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta etika, estetika dan perubahan’ ke dalam sistem sosial masyarakat Indonesia sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman tanpa harus kehilangan jati diri sebagai bangsa. Pendidikan diharapkan menghantarkan masyarakat Indonesia menjadi masyarakat modern yang sarat dengan IPTEK, etika, estetika dan kepribadian yang unggul untuk mencapai tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan Transformatif memiliki visi mengubah masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. Sebagaimana dimaklumi saat ini masyarakat Indonesia merupakan masyarakat agraris dengan etika, estetika dan kepribadian agraris yang belum sepenuhnya familiar dengan ilmu pengetahuan dan teknologi beserta perkembangannya. Tugas pendidikan adalah mengubah peradaban masyarakat, khususnya dalam “menanamkan” dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta etika, estetika dan perubahan’ ke dalam sistem sosial masyarakat Indonesia sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman tanpa harus kehilangan jati diri sebagai bangsa. Pendidikan diharapkan menghantarkan masyarakat Indonesia menjadi masyarakat modern yang sarat dengan IPTEK, etika, estetika dan kepribadian yang unggul untuk mencapai kehidupan berbangsa dan bernegara.



TELAAH PUSTAKA



Transformatif

William Perdue, menyatakan dalam ilmu sosial dikenal adanya tiga jenis utama paradigma:
1. Order Paradigma (Paradigma Keteraturan)
Inti dari paradigma keteraturan adalah bahwa masyarakat dipandang sebagai sistem sosial yang terdiri dari  bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan sistemik. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur sosial adalah fungsional terhadap struktur lainnya. Kemiskinan, peperangan, perbudakan misalnya, merupakan suatu yang wajar, sebab fungsional terhadap masyarakat. Ini yang kemudian melahirkan teori strukturalisme fungsional.Secara eksternal paradigma ini dituduh a historis, konservatif, pro-satus quo dan karenanya, anti perubahan. Paradigma ini mengingkari hukum kekuasaan : setiap ada kekuasaan senantiasa ada perlawanan.
2. Conflic Paradigma (Paradigma Konflik)
Secara konseptual paradigma Konflik menyerang paradigma keteraturan yang mengabaikan kenyataan bahwa : Setiap unsur-unsur sosial dalam dirinya mengandung kontradiksi-kontradiksi internal yang menjadi prinsip penggerak perubahan. Perubahan tidak selalu gradual namun juga revolusioner. Dalam jangka panjang sistem sosial harus mengalami konflik sosial dalam lingkar setan (vicious circle) tak berujung pangkal Kritik itulah yang kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi paradigma konflik. Konflik dipandang sebagai inhern dalam setiap komunitas, tak mungkin dikebiri,  apalagi dihilangkan. Konflik menjadi instrument perubahan.
3. Plural Paradigma (Paradigma plural)
Dari kontras/perbedaan antara paradigma keteraturan dan paradigma konflik tersebut melahirkan upaya  membangun sintesis keduanya yang melahirkan paradigma plural. Paradigma plural memandang manusia sebagai sosok yang independent, bebas dan memiliki otoritas serta otonomi untuk melakukan pemaknaan dan menafsirkan realitas sosial yang ada disekitarnya. Ketiga paradigma di atas merupakan pijakan-pijakan untuk membangun paradigma baru. Paradigma pluralis memberikan  dasar pada paradigma kritis terkait dengan asumsinya bahwa manusia merupakan sosok yang independent, bebas dan memiliki otoritas untuk menafsirkan  realitas. Sedangkan paradigma konflik mempertajam paradigma kritis dengan asumsinya tentang adanya pembongkaran atas dominasi satu kelompok pada kelompok yang lain. Apabila disimpulkan apa yang disebut dengan paradigma kritis  adalah paradigma yang dalam melakukan tafsir sosial atau pembacaan terhadap realitas masyarakat bertumpu pada analisis struktural, membaca format politik, format ekonomi dan politik hukum suatu masyarakat, untuk menelusuri  nalar dan mekanisme sosialnya untuk membongkar pola dan relasi sosial yang hegeminik, dominatif, dan eksploitatif.
4. Paradigma Kritis Transformatif 
Pendidikan Paradigma kritis transformative merupakan kolaborasi dari paradigma pluralis dan paradigma konflik. Teori kritis adalah sangat heterogen anti dogmatis dan menolak segala macam ideologi serta pembakuan hidup yang bisa membelenggu dan mengurangi kebebasan manusia. Sedangkan transformatif adalah kristalisasi dari pemikiran-pemikiran kritis yang dirancang untuk menghasilkan gerakan sehingga tanpa adanya pemikiran-pemikiran kritis, apa yang disebut transformasi tidak akan pernah terwujud. Sedangkan teori kritis ini diarahkan pada prasyarat-prasyarat komunikasi yang terbuka dan bebas.
Pendidikan Transformatif
Yang ditulis oleh Nurhady dalam bukunya tersebut lebih memfokuskan diri pada upaya untuk membangun perubahan pada level personal yang lebih sempit lingkupnya. dengan demikian, yang diinginkan dari program tersebut adalah perubahan paradigma berpikir siswa-siswi tersebut, oleh karena itu tidak didesain sebagai program pemberdayaan (empowerment) masyarakat desa dan sejenisnya. jadi bukan perubahan sosial, melainkan perubahan pada level personal.
Nurhady oleh karenanya fokus pada proses pembelajaran (bukan pendidikan) yang lebih terfokus pada proses pembelajaran (learning). Istilah yang dipilihnya adalah pembelajaran transformatif (transformative learning) yang ia ambil dari Jack Mezirow dan beberapa acuan teoretik dari Journal of Transformative Education Learning dan Journal of Transformative Education juga menunjukkan bahwa pembelajaran transformatif yang ia praktikkan berada dalam lingkup gagasan dan praksis pendidikan transformatif (Sirimorok, 2010: 40-41). Lebih lanjut Nurhady dengan merujuk pada Jack Mezirow mengungkapkan konsep pembelajaran transformatif sebagai berikut.
Pembelajaran Transformatif adalah sebuah proses di mana seseorang mengalami perubahan kerangka acuan berpikir (frame of reference). Kerangka ini menentukan apa yang diketahui dan bagaimana orang mengetahui. Seorang yang mengalami perubahan jenis ini berarti memperoleh kemampuan untuk melakukan refleksi kritis terhadap asumsi-asumsi, kepercayaan, nilai-nilai, dan perspektif yang melekat pada diri sendiri maupun orang lain. Namun proses ini tidak hanya melibatkan operasi kognitif dan rasional, tetapi juga melibatkan pergerakan emosional. Fenomena ini tidak dapat diajarkan tetapi harus dialami, sehingga peran pendidik terbatas sebagai fasilitator dan pemantik bagi berlangsungnya proses ini. Akhirnya dalam proses ini, individu bertransformasi menjadi pembelajar yang bisa mengarahkan diri sendiri, kritis, dan mampu berpikir secara otonom. (Nurhady Sirimorok, 2010: 47-48).
Dengan kerangka acuan tersebut, Desain lingkungan dan praksis pembelajaran dibalikkan 180 derajat dari yang mereka alami selama di sekolah dan masyarakat. Selama mereka berada di lingkungan sekolah, mereka diarahkan untuk belajar dari dua sumber utama, yaitu guru dan buku teks, maka di lingkungan “baru” tersebut mereka diajak untuk belajar dari berbagai macam sumber pengetahuan. Mereka diajari bahwa tujuan bersekolah adalah untuk mencapai prestasi yang tinggi, logika kompetisi diajarkan sebagai cara untuk mencapai tujuan tersebut.  Praksis pembelajaran yang tidak desain dalam bentuk aktivitas cinta alam atau bakti sosial diharapkan dapat menjadi lingkungan belajar yang subur bagi tumbuhnya kesadaran kritis.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar