PEMBELAJARAN
BERBASIS PENDIDIKAN TRANSFORMATIF SEBAGAI SOLUSI MENINGKATKAN BERPIKIR KRITIS
TERHADAP PARIWISATA BUDAYA MELALUI PEMBUATAN VIDEO PARTISIPATORI DI PURA
KEHEN-BANGLI
BIDANG KEGIATAN
:
PKM-GAGASAN TERTULIS
DISUSUN OLEH :
KADEK SRI PUSPA YANI
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Pendidikan sesungguhnya selalu
bersangkut paut dengan masa depan. Pendidikan pada dasarnya adalah "usaha
sadar untuk meyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pegajaran, atau
latihan bagi perannya di masa yang akan datang. Akan tetapi dalam kenyatannya, sesungguhnya
kegiatan pendidikan baik melalui jalur sekolah, maupun luar sekolah yang sudah
dirancang dan dilaksanakan dengan kesadaran penuh akan perlunya mempersiapkan
generasi muda agar mampu menghadapi tantangan
hidupnya dimasa depan. Dimana anak jaman
sekarang sulit untuk berpikir kritis yaitu yang tidak mau menanggapi
atau memberikan komentar terhadap sesuatu dengan penuh pertimbangan, tidak bersedia memperbaiki
kesalahan atau kekeliruan, tidak dapat
menelaah dan menganalisa sesuatu yang datang kepadanya secara sistematis, tidak berani menyampaikan
kebenaran meskipun berat dilaksanakan dan
tidak bersikap cermat, jujur dan ikhlas.
Melihat permasalahan
tersebut maka solusi yang dapat diberikan adalah dengan menerapkan pembelajaran
berbasis pendidikan transformatif. Pendidikan
transformative sesungguhnya
tidak dapat dilepaskan dari pendidikan pada umumnya, karena pendidikan transformatif
adalah memiliki visi mengubah masyarakat tradisional menuju
masyarakat modern. Sebagaimana dimaklumi saat ini masyarakat Indonesia
merupakan masyarakat agraris dengan etika, estetika dan kepribadian agraris
yang belum sepenuhnya familiar dengan ilmu pengetahuan dan teknologi beserta
perkembangannya. Tugas pendidikan adalah mengubah peradaban masyarakat,
khususnya dalam “menanamkan” dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta etika, estetika dan perubahan’ ke dalam sistem sosial masyarakat
Indonesia sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman tanpa harus kehilangan jati
diri sebagai bangsa. Pendidikan diharapkan menghantarkan masyarakat Indonesia
menjadi masyarakat modern yang sarat dengan IPTEK, etika, estetika dan
kepribadian yang unggul untuk mencapai tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan Transformatif
memiliki visi mengubah masyarakat tradisional menuju masyarakat modern.
Sebagaimana dimaklumi saat ini masyarakat Indonesia merupakan masyarakat
agraris dengan etika, estetika dan kepribadian agraris yang belum sepenuhnya
familiar dengan ilmu pengetahuan dan teknologi beserta perkembangannya. Tugas
pendidikan adalah mengubah peradaban masyarakat, khususnya dalam “menanamkan”
dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta etika, estetika dan
perubahan’ ke dalam sistem sosial masyarakat Indonesia sesuai dengan tuntutan
perkembangan jaman tanpa harus kehilangan jati diri sebagai bangsa. Pendidikan
diharapkan menghantarkan masyarakat Indonesia menjadi masyarakat modern yang
sarat dengan IPTEK, etika, estetika dan kepribadian yang unggul untuk mencapai kehidupan
berbangsa dan bernegara.
TELAAH PUSTAKA
Transformatif
William Perdue, menyatakan dalam ilmu sosial
dikenal adanya tiga jenis utama paradigma:
1. Order Paradigma (Paradigma Keteraturan)
Inti dari paradigma keteraturan adalah bahwa
masyarakat dipandang sebagai sistem sosial yang terdiri dari bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling
berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan sistemik. Asumsi dasarnya
adalah bahwa setiap struktur sosial adalah fungsional terhadap struktur
lainnya. Kemiskinan, peperangan, perbudakan misalnya, merupakan suatu yang
wajar, sebab fungsional terhadap masyarakat. Ini yang kemudian melahirkan teori
strukturalisme fungsional.Secara eksternal paradigma ini dituduh a historis,
konservatif, pro-satus quo dan karenanya, anti perubahan. Paradigma ini mengingkari hukum
kekuasaan : setiap ada kekuasaan senantiasa ada perlawanan.
2. Conflic Paradigma (Paradigma Konflik)
Secara konseptual paradigma Konflik menyerang
paradigma keteraturan yang mengabaikan kenyataan bahwa : Setiap unsur-unsur
sosial dalam dirinya mengandung kontradiksi-kontradiksi internal yang menjadi
prinsip penggerak perubahan. Perubahan tidak selalu gradual namun juga revolusioner. Dalam jangka panjang sistem sosial harus mengalami konflik sosial dalam
lingkar setan (vicious circle) tak berujung pangkal Kritik itulah yang kemudian
dikembangkan lebih lanjut menjadi paradigma konflik. Konflik dipandang sebagai
inhern dalam setiap komunitas, tak mungkin dikebiri, apalagi dihilangkan. Konflik menjadi
instrument perubahan.
3. Plural Paradigma (Paradigma plural)
Dari kontras/perbedaan antara paradigma
keteraturan dan paradigma konflik tersebut melahirkan upaya membangun sintesis keduanya yang melahirkan
paradigma plural. Paradigma plural memandang manusia sebagai sosok yang
independent, bebas dan memiliki otoritas serta otonomi untuk melakukan
pemaknaan dan menafsirkan realitas sosial yang ada disekitarnya. Ketiga
paradigma di atas merupakan pijakan-pijakan untuk membangun paradigma baru. Paradigma
pluralis memberikan dasar pada paradigma
kritis terkait dengan asumsinya bahwa manusia merupakan sosok yang independent, bebas
dan memiliki otoritas untuk menafsirkan
realitas. Sedangkan paradigma konflik mempertajam paradigma kritis
dengan asumsinya tentang adanya pembongkaran atas dominasi satu kelompok pada
kelompok yang lain. Apabila disimpulkan apa yang disebut dengan paradigma kritis adalah paradigma yang dalam melakukan tafsir
sosial atau pembacaan terhadap realitas masyarakat bertumpu pada analisis struktural, membaca format politik, format ekonomi dan
politik hukum suatu masyarakat, untuk menelusuri nalar dan mekanisme sosialnya untuk
membongkar pola dan relasi sosial yang hegeminik, dominatif, dan eksploitatif.
4. Paradigma Kritis Transformatif
Pendidikan Paradigma kritis transformative
merupakan kolaborasi dari paradigma pluralis dan paradigma konflik. Teori
kritis adalah sangat heterogen anti dogmatis dan menolak segala macam ideologi
serta pembakuan hidup yang bisa membelenggu dan mengurangi kebebasan manusia.
Sedangkan transformatif adalah kristalisasi dari pemikiran-pemikiran kritis
yang dirancang untuk menghasilkan gerakan sehingga tanpa adanya
pemikiran-pemikiran kritis, apa yang disebut transformasi tidak akan pernah
terwujud. Sedangkan teori kritis ini diarahkan pada prasyarat-prasyarat komunikasi yang terbuka dan bebas.
Pendidikan Transformatif
Yang ditulis oleh Nurhady dalam bukunya tersebut lebih memfokuskan diri pada upaya untuk membangun perubahan pada level personal yang lebih sempit lingkupnya. dengan demikian, yang diinginkan dari program tersebut adalah perubahan paradigma berpikir siswa-siswi tersebut, oleh karena itu tidak didesain sebagai program pemberdayaan (empowerment) masyarakat desa dan sejenisnya. jadi bukan perubahan sosial, melainkan perubahan pada level personal.
Yang ditulis oleh Nurhady dalam bukunya tersebut lebih memfokuskan diri pada upaya untuk membangun perubahan pada level personal yang lebih sempit lingkupnya. dengan demikian, yang diinginkan dari program tersebut adalah perubahan paradigma berpikir siswa-siswi tersebut, oleh karena itu tidak didesain sebagai program pemberdayaan (empowerment) masyarakat desa dan sejenisnya. jadi bukan perubahan sosial, melainkan perubahan pada level personal.
Nurhady
oleh karenanya fokus pada proses pembelajaran (bukan pendidikan) yang lebih
terfokus pada proses pembelajaran (learning). Istilah yang
dipilihnya adalah pembelajaran transformatif (transformative learning)
yang ia ambil dari Jack Mezirow dan beberapa acuan teoretik dari Journal
of Transformative Education Learning dan Journal of
Transformative Education juga menunjukkan bahwa pembelajaran
transformatif yang ia praktikkan berada dalam lingkup gagasan dan praksis
pendidikan transformatif (Sirimorok, 2010: 40-41). Lebih lanjut Nurhady dengan
merujuk pada Jack Mezirow mengungkapkan konsep pembelajaran transformatif
sebagai berikut.
Pembelajaran
Transformatif adalah sebuah proses di mana seseorang mengalami perubahan
kerangka acuan berpikir (frame of reference).
Kerangka ini menentukan apa yang diketahui dan bagaimana orang mengetahui.
Seorang yang mengalami perubahan jenis ini berarti memperoleh kemampuan untuk
melakukan refleksi kritis terhadap asumsi-asumsi, kepercayaan, nilai-nilai, dan
perspektif yang melekat pada diri sendiri maupun orang lain. Namun proses ini
tidak hanya melibatkan operasi kognitif dan rasional, tetapi juga melibatkan pergerakan
emosional. Fenomena ini tidak dapat diajarkan tetapi harus dialami, sehingga
peran pendidik terbatas sebagai fasilitator dan pemantik bagi berlangsungnya
proses ini. Akhirnya dalam proses ini, individu bertransformasi menjadi
pembelajar yang bisa mengarahkan diri sendiri, kritis, dan mampu berpikir
secara otonom. (Nurhady Sirimorok, 2010: 47-48).
Dengan kerangka acuan tersebut, Desain
lingkungan dan praksis pembelajaran dibalikkan 180 derajat dari yang mereka
alami selama di sekolah dan masyarakat. Selama mereka berada di lingkungan
sekolah, mereka diarahkan untuk belajar dari dua sumber utama, yaitu guru dan
buku teks, maka di lingkungan “baru” tersebut mereka diajak untuk belajar dari
berbagai macam sumber pengetahuan. Mereka diajari bahwa tujuan bersekolah
adalah untuk mencapai prestasi yang tinggi, logika kompetisi diajarkan sebagai
cara untuk mencapai tujuan tersebut. Praksis pembelajaran yang tidak
desain dalam bentuk aktivitas cinta alam atau bakti sosial diharapkan dapat
menjadi lingkungan belajar yang subur bagi tumbuhnya kesadaran kritis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar